Kebijakan Perdagangan internasional adalah suatu aturan
yang dibentuk oleh
badan badan tertentu dalam melakukan perdagangan dunia yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas
dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan
(individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau
pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak
negara, perdagangan Internasional menjadi salah satu
faktor utama untuk meningkatkan GDP. Di
Indonesia perdagangan Internasional juga terjalin dengan
negara negara luar termasuk yang satu kawasan dengan Indonesia.
Latar Belakang Ekonomi
Beras merupakan komoditi yang sangat utama karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Selain sebagai sumber karbohidrat, dua pertiga kebutuhan kalori diperoleh dari beras. Akibatnya, wajar jika beras merupakan komponen yang terpenting dari “indeks harga bahan pangan dan biaya hidup”. Disisi lain, beras juga merupakan sumber lapangan kerja yang terbesar di bidang pertanian, merupakan massive industry yang melibatkan banyak orang (Hatta Sunanta, 2006).
Beras merupakan komoditi yang sangat utama karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Selain sebagai sumber karbohidrat, dua pertiga kebutuhan kalori diperoleh dari beras. Akibatnya, wajar jika beras merupakan komponen yang terpenting dari “indeks harga bahan pangan dan biaya hidup”. Disisi lain, beras juga merupakan sumber lapangan kerja yang terbesar di bidang pertanian, merupakan massive industry yang melibatkan banyak orang (Hatta Sunanta, 2006).
Latar Belakang Politik
Menurut data Food Agriculture Organization of the UN (FAO), menunjukkan perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 mencapai 8 miliar. Pada tahun 2015, sebanyak 580 juta penduduk dunia akan mengalami kekurangan pangan. Perhitungan ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di dunia akan semakin tergantung pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang sangat besar, dan diperkirakan kebutuhan tersebut akan meningkat dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 ton pada tahun 2030 (Bayu Krisnamurthi, 2006).
Negara Indonesia sebagai negara agraris, maka
konsekuensi logisnya kebutuhan akan pangan terutama beras dapat terpenuhi.
Namun yang terjadi saat ini justru ironi untuk memenuhi kebutuhan pangan
(beras, jagung, kedele, buah-buahan) masih harus impor. Jumlah penduduk
Indonesia mengalami peningkatan terus sehingga kebutuhan pangan pun bertambah.
Disisi lain, lahan pertanian semakin terbatas akibat alih fungsi lahan maka
dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi terbatas sehingga salah
satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan adalah dengan
impor.
1.
Kenapa Indonesia melakukan impor beras?
2. Mekanisme kebijakan impor beras di ?
3. Aturan hukum
4. Apa kaitan politik dengan kebijakan impor beras di Indonesia
5. Apa kaitan ekonomi dengan kebijakan impor beras di Indonesia
6. Apa dampak dari kebijakan impor beras?
2. Mekanisme kebijakan impor beras di ?
3. Aturan hukum
4. Apa kaitan politik dengan kebijakan impor beras di Indonesia
5. Apa kaitan ekonomi dengan kebijakan impor beras di Indonesia
6. Apa dampak dari kebijakan impor beras?
Ada tiga indikator pemerintah untuk
mengimpor beras, yaitu produksi, harga, dan stok pemerintah.
Keuntungan ekspor impor
Keuntungan
ekspor antara lain adalah :
1). Memperluas
Pasar bagi Produk Indonesia
Kegiatan
ekspor merupakan salah satu cara untuk memasarkan produk Indonesia ke luar
negeri. Contohnya batik Indonesia yang mulai dikenal di dunia, jika permintaan
batik di luar negeri meningkat maka produsen batik di indonesia akan semakin
luas pemasaranya. Dengan demikian, kegiatan produksi batik di Indonesia akan
semakin berkembang.
2). Memperluas
Lapangan Kerja
Kegiatan
ekspor akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat. hal ini berhubungan dengan
semakin luasnya pasar produk indonesia.kegiatan produksi di dalam negeri akan
meningkat. Semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan sehingga lapangan
kerja semakin luas.
Keuntungan
impor antara lain adalah :
1). Memperoleh
Barang dan Jasa yang Tidak Bisa Dihasilkan
Setiap
negara memiliki sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia yang
berbeda-beda. Misalnya, keadaan alam Indonesia tidak bisa menghasilkan gandum
dan Amerika tidak bisa menghasilkan kelapa sawit.
Perdagangan
antarnegara akan bisa mendatangkan barang-barang yang belum dapat dihasilkan di
dalam negeri.
2). Memperoleh
Bahan Baku
Setiap
kegiatan usaha pasti membutuhkan bahan baku. Untuk memproduksi mobil dibutuhkan
besi dan baja. Untuk memproduksi ember, mangkuk, dan kursi plastik dibutuhkan
plastik. Tidak semua bahan baku produksi tersebut dihasilkan di dalam negeri.
Ada beberapa alasan pemerintah mengimpor beras. Di antaranya:
1. Untuk menahan laju inflasi
Beras dianggap komoditi terpenting sebagai indikator pergerakan inflasi, karena beras merupakan makanan pokok sehari-hari rakyat Indonesia. Oleh karena itu diperlukan impor untuk menambah suplai beras agar dapat mengontrol harga dasar beras dan gabah pada umumnya. Sesuai hukum ekonomi supply berbanding terbalik dengan harga.
Namun hal ini tentu saja mengakibatkan efek yang tidak baik bagi para petani Indonesia. Karena harga beras dalam negeri tidak akan bisa menyamai harga beras impor. Akibatnya, banyak petani yang terlantar akibat berkorban bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
1. Untuk menahan laju inflasi
Beras dianggap komoditi terpenting sebagai indikator pergerakan inflasi, karena beras merupakan makanan pokok sehari-hari rakyat Indonesia. Oleh karena itu diperlukan impor untuk menambah suplai beras agar dapat mengontrol harga dasar beras dan gabah pada umumnya. Sesuai hukum ekonomi supply berbanding terbalik dengan harga.
Namun hal ini tentu saja mengakibatkan efek yang tidak baik bagi para petani Indonesia. Karena harga beras dalam negeri tidak akan bisa menyamai harga beras impor. Akibatnya, banyak petani yang terlantar akibat berkorban bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
2. Karena memang BULOG kehabisan stok beras.
Pada dasarnya produksi beras nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan beras nasional. Akan tetapi tidak ada stok cadangan untuk berjaga-jaga. Oleh karena itu perlu mengimpor beras untuk menutupi stok cadangan.
Hal ini tentu saja akan membuat asumsi lain bahwasanya Indonesia tidak mampu memproduksi beras sendiri dan hanya mengandalkan beras impor dari luar negeri.
Akan tetapi, pemerintah menyangkal hal ini. Mereka bilang, stok beras cukup untuk kebutuhan pokok bagi masyarakat sekitar. Mereka berdalih, mengimpor beras demi mengejar kenaikan inflasi.
Sebenarnya stock beras nasional ini berkurang, karena pihak bulog tidak melakukan upaya pembelian gabah dari kalangan petani atau koperasi-koperasi petani. Karena mereka hanya membeli padi dari pedagang dan pengusaha. Dan secara otomatis menimbulkan selisih harga yang tinggi dibanding harga dari petani. Dan jumlah yang dibeli bulog tidak memenuhi jumlah standart stock nasional. Oleh karena itu letak kurangnya stock Bulog sekarang ini adalah disebabkan karena lambatnya Bulog membeli gabah-gabah petani pada masa panen raya.
Alasan yang lain masih selalu sama dengan alasan-alasan sebelumnya yaitu seputar kekeringan, gagal panen, tingginya harga beras dalam negeri sehingga Bulog tidak sanggup membeli beras dari petani, dan yang terakhir adalah untuk menutupi cadangan beras pemerintah supaya aman dalam beberapa bulan kedepan.
Pada dasarnya produksi beras nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan beras nasional. Akan tetapi tidak ada stok cadangan untuk berjaga-jaga. Oleh karena itu perlu mengimpor beras untuk menutupi stok cadangan.
Hal ini tentu saja akan membuat asumsi lain bahwasanya Indonesia tidak mampu memproduksi beras sendiri dan hanya mengandalkan beras impor dari luar negeri.
Akan tetapi, pemerintah menyangkal hal ini. Mereka bilang, stok beras cukup untuk kebutuhan pokok bagi masyarakat sekitar. Mereka berdalih, mengimpor beras demi mengejar kenaikan inflasi.
Sebenarnya stock beras nasional ini berkurang, karena pihak bulog tidak melakukan upaya pembelian gabah dari kalangan petani atau koperasi-koperasi petani. Karena mereka hanya membeli padi dari pedagang dan pengusaha. Dan secara otomatis menimbulkan selisih harga yang tinggi dibanding harga dari petani. Dan jumlah yang dibeli bulog tidak memenuhi jumlah standart stock nasional. Oleh karena itu letak kurangnya stock Bulog sekarang ini adalah disebabkan karena lambatnya Bulog membeli gabah-gabah petani pada masa panen raya.
Alasan yang lain masih selalu sama dengan alasan-alasan sebelumnya yaitu seputar kekeringan, gagal panen, tingginya harga beras dalam negeri sehingga Bulog tidak sanggup membeli beras dari petani, dan yang terakhir adalah untuk menutupi cadangan beras pemerintah supaya aman dalam beberapa bulan kedepan.
3. Banyaknya jumlah penduduk tidak di
imbangi dengan hasil beras di dalam negeri
Meskipun Indonesia memproduksi begitu banyak beras namu belum juga bisa mencukupi kebutuhan penduduknya dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak.
Data statistik menunjukkan sekitar 230-237 juta jiwa penduduk di Indonesia membutuhkan nasi sebagai makanan pokok. Jadi bisa dilihat, mengapa Indonesia mengimpor beras dari negara lain hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Dan salah satu negara yang sering mengekspor beras untuk Indonesia adalah Thailand.
Meskipun Indonesia memproduksi begitu banyak beras namu belum juga bisa mencukupi kebutuhan penduduknya dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak.
Data statistik menunjukkan sekitar 230-237 juta jiwa penduduk di Indonesia membutuhkan nasi sebagai makanan pokok. Jadi bisa dilihat, mengapa Indonesia mengimpor beras dari negara lain hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Dan salah satu negara yang sering mengekspor beras untuk Indonesia adalah Thailand.
4.
Faktor Iklim
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
5. Lahan pertanian yang semakin
sempit
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
6.
Mahalnya biaya tranportasi
Faktor selanjutnya adalah mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Faktor selanjutnya adalah mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
7.Kurang
berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian terutama dalam hal
penerapan teknologi baru.
Kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah pengembangan sektor pertanian terutama dalam hal penerapan teknologi baru di sektor pertanian seperti rekayasa genetik bibit pangan, membuat Indonesia kian sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya
Kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah pengembangan sektor pertanian terutama dalam hal penerapan teknologi baru di sektor pertanian seperti rekayasa genetik bibit pangan, membuat Indonesia kian sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya
Beberapa faktor diatas sudah cukup menjelaskan
mengapa Indonesia masih saja mengimpor banhan pangan dari luar padahal
Indonesia terkenal dengan sumber kekayaan alamnya.
MEKANISME
KEBIJAKAN IMPOR BERAS
Kebijakan impor beras dari tahun
ke tahun
Tahun 1998
Pada tahun 1998, terdapat kebijakan tarif impor nol persen. Kebijakan ini dilakukan karena kondisi krisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan keadaan iklim yang tidak mendukung produksi gabah.
Pada tahun 1998, terdapat kebijakan tarif impor nol persen. Kebijakan ini dilakukan karena kondisi krisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan keadaan iklim yang tidak mendukung produksi gabah.
Tahun 2000
Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan poteksi terhadap pertanian padi nasional. Kebijakan tariff nol persen pun dihapuskan. Hal ini dikarenakan impor beras dari Negara asing makin membanjiri pasar domestik Indonesia semenjak diberlakukannya Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemet of Agriculture, World Trade Organization) pada tahun 1995. Akhirnya kebijakan proteksi berupa tariff ad-valorem sebesar 30 persen ditetapkan. Selain kebijakan tariff, terdapat juga kebijakan proteksi non-tarrif. Pada saat itu, kedua kebijakan proteksi, yaitu tariff dan non tariff berjalan sangat efektif. Petani lokal sangat terlindungi serta harga beras cenderung stabil. Akan tetapi, kebijakan proteksi seperti ini sudah tidak relevan lagi jika diterapkan sekarang. Saat ini kebijakan tersebut memang sudah tidak populer dan sudah sangat jarang dipakai oleh Negara-negara di dunia. Hal ini dikarenakan globalisasi yang semakin memaksa Negara-negara untuk terbuka terhadap Negara lain. Kalaupun Negara Indonesia menerapkan tariff terhadap impor beras, tariff itu sangatlah rendah sehingga harga beras impor menjadi lebih murah dari beras lokal. Dengan kualitas beras impor yang berada di atas kualitas beras lokal, beras lokal pun menjadi kalah saing dengan beras impor.
Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan poteksi terhadap pertanian padi nasional. Kebijakan tariff nol persen pun dihapuskan. Hal ini dikarenakan impor beras dari Negara asing makin membanjiri pasar domestik Indonesia semenjak diberlakukannya Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemet of Agriculture, World Trade Organization) pada tahun 1995. Akhirnya kebijakan proteksi berupa tariff ad-valorem sebesar 30 persen ditetapkan. Selain kebijakan tariff, terdapat juga kebijakan proteksi non-tarrif. Pada saat itu, kedua kebijakan proteksi, yaitu tariff dan non tariff berjalan sangat efektif. Petani lokal sangat terlindungi serta harga beras cenderung stabil. Akan tetapi, kebijakan proteksi seperti ini sudah tidak relevan lagi jika diterapkan sekarang. Saat ini kebijakan tersebut memang sudah tidak populer dan sudah sangat jarang dipakai oleh Negara-negara di dunia. Hal ini dikarenakan globalisasi yang semakin memaksa Negara-negara untuk terbuka terhadap Negara lain. Kalaupun Negara Indonesia menerapkan tariff terhadap impor beras, tariff itu sangatlah rendah sehingga harga beras impor menjadi lebih murah dari beras lokal. Dengan kualitas beras impor yang berada di atas kualitas beras lokal, beras lokal pun menjadi kalah saing dengan beras impor.
Tahun 2011
Berdasarkan data BPS, sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui impor sebanyak 1,57 juta ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta.
Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan beberapa negara lainnya.
Berdasarkan data BPS, sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui impor sebanyak 1,57 juta ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta.
Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan beberapa negara lainnya.
Mengapa Impor
Pertama,
bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam
negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan
pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara
BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode
perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan
metode pandangan mata. Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan
kurang akurat.Data ini kemungkinan besar merupakan data
yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras
sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk
pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS),
konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka
ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung
nilai konsumsi beras nasional. Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa
menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan
kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan
kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi
tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif
tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah
harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat
menanam komoditas tanaman pangan.
Mengapa Tidak Impor
Kebijakan
yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada
satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi
kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri
dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat.
Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit. Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.
Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit. Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.
ATURAN HUKUM
Kemendag Terbitkan Permendag Nomor
19/M-DAG/PER/3/2014
Tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Beras
Jakarta,
15 April 2014 –
Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
Nomor 19/M-DAG/PER/3/2014 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras pada 28
Maret 2014. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 3 April
2014.
“Permendag
ini diterbitkan mengingat beras merupakan barang kebutuhan pokok bagi
masyarakat Indonesia sehingga kegiatan pengadaan dan distribusi beras menjadi
sangat penting dalam menciptakan stabilitas ekonomi nasional, menjaga ketahanan
pangan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta melindungi
kepentingan konsumen,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Bachrul
Chairi pada saat sosialisasi Permendag No.19 Tahun 2014 di kantor Kementerian
Perdagangan, Jakarta, hari ini (15/4).
Dirjen
Bachrul menyampaikan beberapa pokok pengaturan dalam Permendag tersebut yang
terkait dengan ekspor beras yaitu ekspor beras hanya dapat dilakukan bila
persediaan beras di dalam negeri telah melebihi kebutuhan.
Adapun
jenis beras yang dapat diekspor meliputi beras yang tidak diproduksi melalui
sistem pertanian organik, beras ketan hitam, dan beras organik dengan tingkat
kepecahan paling tinggi 25%. Selain itu, ekspor beras hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan ekspor dengan memperhatikan rekomendasi dari
Kementerian Pertanian, kecuali untuk ekspor beras yang dilakukan oleh Perum
BULOG, persetujuan ekspornya dengan memperhatikan rekomendasi dari Tim
Koordinasi.
Sementara
itu untuk impor beras, lanjut Bachrul, dapat dilakukan untuk keperluan
stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin, dan
kerawanan pangan; keperluan tertentu guna memenuhi kebutuhan industri sebagai
bahan baku/penolong yang tidak atau belum sepenuhnya dihasilkan di dalam
negeri; keperluan tertentu dapat dilakukan dengan ketentuan yang terkait dengan
kesehatan/dietary dan konsumsi khusus/segmen tertentu; serta beras yang
bersumber dari hibah.
“Impor
beras untuk keperluan kesehatan/dietary dan konsumsi khusus/segmen
tertentu hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan penetapan
sebagai IT-Beras. Sedangkan impor beras untuk keperluan tertentu guna memenuhi
kebutuhan industri sebagai bahan baku/penolong yang tidak atau belum sepenuhnya
dihasilkan di dalam negeri, dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah
mendapatkan pengakuan sebagai IP-Beras dengan memperhatikan rekomendasi dari
Kementerian Perindustrian,” jelas Bachrul.
Jenis beras yang dapat diimpor meliputi
beras dengan tingkat kepecahan paling tinggi 25%, beras pecah dengan tingkat
kepecahan 100%, beras ketan pecah dengan tingkat kepecahan 100%, beras Japonica
dengan tingkat kepecahan paling tinggi 5%, beras ketan utuh dan beras Thai
Hom Mali dengan tingkat kepecahan paling tinggi 5%, serta beras kukus dan
beras Basmati dengan tingkat kepecahan paling tinggi 5%.
Dirjen
Bachrul juga menyampaikan persyaratan IT-Beras, antara lain fotokopi Angka
Pengenal Importir Umum (API-U) yang mencantumkan bagian/section II,
bukti penguasaan gudang sesuai dengan karakteristik produknya berupa fotokopi
Tanda Daftar Gudang (TDG), dan surat pernyataan bermaterai cukup yang
menyatakan tidak memiliki afiliasi atau hubungan kepemilikan dengan perusahaan
lain yang bergerak di bidang perberasan.
IT-Beras
yang akan melakukan impor beras harus mendapatkan persetujuan impor dari
Kemendag dengan memperhatikan rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Setelah
memperoleh persetujuan impor, IT-Beras wajib merealisasikan impor beras paling
sedikit 80% dari persetujuan impor. “Jika kewajiban realisasi impor beras
paling sedikit 80% dari persetujuan impor tidak dilaksanakan, maka IT-Beras
akan dicabut,” tegas Bachrul.
Pokok-pokok pengaturan lainnya yang disampaikan oleh
Bachrul yaitu bahwa pada setiap pelaksanaan ekspor dan impor beras wajib
dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis di pelabuhan muat untuk ekspor dan
di negara asal untuk impor. Selain itu, beras yang diimpor harus memenuhi
persyaratan kemasan dan pada saat memasuki Indonesia wajib berlabel dalam
Bahasa Indonesia. Dirjen Bachrul juga menyebutkan adanya penyesuaian Pos
Tarif/HS pada Lampiran Permendag dari Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI)
Tahun 2007 ke Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) Tahun 2012.s
Kaitan
Politik Terhadap Impor Beras
Politik Beras Indonesia
Carut
marutnya kondisi perberasan di Indonesia merupakan implikasi dari politik beras yang
telah diterapkan pemerintah. Perburuan rente ekonomi merupakan faktor utama
yang melatarbelakangi diterapkannya kebijakan perberasan di Indonesia.[9]supply dan demand(mekanisme
pasar) semata. Akibatnya ketika harga beras melambung penyebabnya disandarkan
pada tingkat supplydemand masyarakat.
Sehingga untuk mengatasi gejolak harga solusi yang ditempuh dengan
menyeimbangkan tingkat supply. Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu
berpikir instan, yakni impor beras. Sedangkan HPP dibuat pemerintah sebagai
jangkar harga beras. Dengan
berlindung di balik argumentasi melindungi kepentingan rakyat agar harga beras
dapat dijangkau oleh masyarakat, pemerintah hanya melihat harga beras dan
pemenuhan pasokan beras dari sisi beras lokal yang tidak mampu memenuhi tingkat
Pola
pikir mekanisme pasar serta supply dan demand merupakan watak Kapitalis yang menjadi
asas kebijakan pemerintah. Dalam
kasus kenaikan harga beras awal tahun ini, pemerintah seperti yang dinyatakan
wapres Jusuf Kalla menganggap kenaikkan harga beras antara Rp 5.000 – Rp 6.000
sebagai cermin mekanisme pasar telah berjalan dengan baik. Untuk menurunkan
harga beras yang telah naik tersebut, harus ditempuh dengan menambah pasokan
beras. Karena petani belum panen, pemerintah menganggap impor beras sebagai
jalan terbaik.[10]
Menurut
pemerintah kebijakan impor beras sangat diperlukan tidak hanya untuk
mengembalikan harga beras pada tingkat yang dapat dijangkau oleh masyarakat
tetapi juga untuk menekan angka kemiskinan. Sebab dengan menjaga harga beras
melalui pasokan beras impor, pemerintah berupaya mengurangi beban hidup orang
miskin termasuk di kalangan petani sendiri. Dengan kata lain pemerintah
menjadikan impor beras sebagai salah satu solusi untuk mengurangi tingkat
kemiskinan. Argumentasi pemerintah impor beras dapat mengurangi kemiskinan
didukung oleh hasil penelitian Bank Dunia terbaru yang berjudul Era Baru
dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Menurut penelitian ini penyebab utama meningkatnya angka
kemiskinan periode Februari 2005 – Maret 2006 adalah karena kenaikkan harga
beras sebesar 33% sebagai akibat adanya larangan impor.[11]
Memang
benar kenaikkan harga beras sangat berdampak pada menurunnya daya beli
masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah. Tetapi kemiskinan yang
terjadi bukanlah disebabkan oleh pelarangan impor beras melainkan karena
struktur ekonomi yang timpang sebagai akibat kebijakan Kapitalisme pemerintah.
Hasil penelitian Bank Dunia tersebut hanyalah alat legitimasi untuk membuka
kran impor beras oleh pemerintah. Penelitian tersebut tak ubahnya “pelacuran
intelektual” sebagaimana kita pernah mendapatkan hasil penelitian LPEM UI
tahun 2005 lalu yang menyatakan pencabutan subsidi dan kebijakan menaikkan
harga BBM akan mengurangi angka kemiskinan. Adalah sangat menggelikan jika
negeri ini dalam menuntaskan kemiskinan menerima geitu saja resep Bank Dunia
melalui metode impor beras dan pencabutan subsidi.
Kenyataan
OP beras yang dilakukan pemerintah melalui Bulog tidak dijual di bawah harga
HPP membuktikan bahwa Bulog ingin mendapatkan keuntungan dari selisih harga HPP
dengan harga jual. Harga HPP beras yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp
3.550/kg, sementara Bulog menjual dengan harga Rp 4.000/kg walaupun kemudian
pemerintah menurunkannya lagi menjadi Rp 3.700/kg. Sebagai simulasi, OP yang
digelar Bulog di seluruh daerah berjumlah 68 ribu ton untuk bulan Februari
2007. Dengan harga OP Rp 3.700/kg keuntungan kotor yang diperoleh Bulog sebesar
Rp 150/kg atau sekitar Rp 10,2 milyar untuk penjualan 68 ribu ton beras OP.
Bila dengan membeli beras petani di bawah harga HPP saja Bulog sudah
mendapatkan untung cukup besar, apalagi bila beras yang dijual ke masyarakat
adalah beras impor dengan harga pokok yang jauh lebih murah dan dijual dalam
jumlah besar. Satu informasi menyatakan beras Vietnam harganya Rp 2.200/kg[12] dengan harga
OP Rp 3.700/kg berarti setidaknya terdapat Rp 1.500 selisih harga beli dengan
harga jualnya. Bila beras yang diimpor dan dijual ke masyarakat sebanyak 500
ribu ton maka keuntungan kotor sudah menjanjikan sebesar Rp 750 milyar. Ini
baru berbicara Bulog saja belum lagi keuntungan yang dapat diperoleh oleh
pedagang besar dan importir swasta.
Kebijakan
impor beras yang dikatakan pemerintah untuk menolong daya beli petani justru
mendapatkan tentangan dari para petani sendiri. Para petani yang
tergabung dalam Jaringan Petani Nelayan Indonesia menolak kebijakan impor beras karena tidak
menyelesaikan masalah pasokan dan harga beras yang melambung. Menurut mereka
permasalahan terletak pada manajemen stok dan manajemen distribusi. Menurut Icu
Zukafril, Koordinator Nasional Jaringan Petani Nelayan Indonesia, kebutuhan
beras Indonesia tahun 2006 sebanyak 32 juta ton dan masih terdapat surplus
beras 2,7 juta ton sehingga tidak masuk akal bila impor beras dilakukan.[13]
Kaitan
Ekonomi Terhadap Impor Beras
Impor Beras
Rusak Ekonomi Bangsa
Beberapa
waktu yang lalu terjadi polemik yang cukup ramai tentang masalah impor beras.
Di satu pihak dikemukakan bahwa impor beras harus dilakukan sebagai upaya
pengamanan pangan dan di pihak lain impor beras tersebut ditakutkan akan
menghancurkan keberadaan para petani beras nasional. Pada akhirnya impor beras
swasta tetap boleh dilaksanakan dengan pengenaan biaya masuk yang cukup tinggi.
Tindakan mengimpor, dan juga mengekspor, dalam kamus ekonomi makro sebenarnya
adalah hal yang biasa. Jika kebutuhan konsumsi belum dapat dipenuhi dari hasil
produksi dalam negeri, artinya terjadi axcess demand, maka car pemenuhannya
adalah dengan melakukan impor. Dan sebaliknya jika produksi melebihi konsumsi,
yakni terjadi excess suplly, kegiatan impor ekspor beras bahkan harus
terjadi jika masing-masing negara telah melakukan produksi nasionalnya sesuai
dengan kondisi comparative advantages masing-masing.
Adanya
kebijakan pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokan petani di
wilayah yang. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada
kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar
gabah tetap rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia
selain telah banyka berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan
produksi pangan.
Bisnis.com,
DENPASAR - Pengamat pertanian Gede Sedana menilai kebijakan pemerintah yang
masih mempertahankan impor beras sangat merugikan petani dan memberikan dampak
negatif terhadap perekonomian nasional.
"Pemerintah
pada sisi lain belum mampu membuat kebijakan yang baik dalam mendukung
keberlangsungan hidup petani," kata Dr Gede Sedana yang juga Dekan
Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar, Minggu (17/5/2015).
Menurutnya,
impor beras secara tidak langsung menyudutkan posisi petani di tengah gencarnya
program pemerintah untuk mampu meraih kembali swasembada pangan yang pernah
disandang Indonesia pada 1984.
"Impor
beras membawa konsekwensi terhadap turunnya harga gabah di tingkat petani,
disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi, mengurangi
cadangan devisa dan ketergantungan terhadap pangan luar negeri," ucapnya.
Gede Sedana
menyarankan pemerintah untuk menghindari impor beras secara berkelanjutan
dengan meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nasional.
Upaya
tersebut dapat ditempuh dengan melakukan promosi pengembangan sistem dan usaha
agribisnis berbasis usahatani padi.
Berbagai
program promosi dapat dilakukan secara berkelanjutan menyangkut pengembangan
infrastruktur mendukung usahatani padi dan meningkatkan akses petani terhadap
sarana produksi dan sumber permodalan.
Selain itu
meningkatkan mutu intensifikasi uasahatani padi dengan menggunakan teknologi
maju, menerapkan ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa serta meningkatkan
akses petani terhadap sarana pengolahan pasca-panen dan pemasaran.
Untuk itu
diperlukan adanya kebijakan yang implementasinya khususnya mengenai pembelian
gabah oleh pemerintah apakah melalui Bulog atau Perusahaan Umum Daerah dengan
harga yang sangat layak bagi petani.
Upaya itu
untuk menggairahkan petani berusahatani secara intensif dan mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan para petani. "Pada sisi lain pemerintah wajib
menjaga harga beras sehingga tidak merugikan konsumen termasuk petani itu
sendiri," ujar Gede Sedana.
Walaupun di
negeri ini sudah ada petani yang sangat maju, namun tidak ada kaum tani yang
tidak terkena dampak industri dan komunikasi modern. Kaum tani sederhana dekat
dengan tanah dan dengan alam. Mereka hidup berdekatan dan saling memberi
perhatian satu sama lain. Dengan kata lain, mereka mengalami harmoni kosmis
maupun harmoni sosial. Namun situasi baru lebih dialami sebagai disharmoni baik
kosmis maupun sosial.
Kaum tani
tidak selalu dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan
tanah pertaniannya, entah karena peraturan daerah, atau karena pencemaran
industri. Penghisapan kaum tengkulak membuat kaum tani tidak menikmati hasil
keringatnya secara wajar.
Sejak
digalakkan ekspor nonmigas, perebutan tanah semakin menjadi-jadi, yang tidak
jarang disertai teror dan manipulasi sebagaimana yang dikeluhkan para petani
kecil. Jadi, bukan hanya hasil keringat yang tidak bisa dinikmati, melainkan
modal tanah yang digerogoti. Berhadapan dengan penguasa dan pengusaha, kaum
tani kecil tidak dapat polah.
Dalam proses
pengambilan keputusan maupun proses produksi dan jual beli dalam kehidupan
politis dan ekonomis, kaum tani kecil tidak menjadi subyek melainkan sebagai obyek.
Kepentingan mereka kurang atau tidak diperhitungkan. Mereka semakin dicabut
dari situasi harmoni dan semakin memasuki disharmoni, baik kosmis maupun
sosial.
Meskipun
para petani selalu mengalami panen, namun tidak diikuti dengan meningkatnya
kesejahteraan ekonomi petani dan rakyat di pedesaan pada umumnya. Harga gabah
yang diterima para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh pemerintah, masih
selalu rendah dibandingkan dengan harga yang diterima oleh produsen di sektor
industri. Rendahnya harga pokok pertanian, khususnya gabah, menyebabkan
kesejahteraan petani belum meningkat. Tetapi, tidak berarti petani miskin,
hanya memang peningkatan itu relatif kecil bila dibanding industri.
Perbedaan
kesejahteraan antara petani dan para produsen di sektor industri sedemikian
besarnya sehingga terjadi ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan
sehari-hari bahwa para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan sementara
produsen barang industri hidup serba mewah.
Para petani
Indonesia berabad-abad lamanya telah mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga
mereka karena mereka mampu menciptakan teknologi sendiri dan mau bekerja keras.
Jika diamati di semua wilayah memang tidak ada petani Indonesia yang malas,
sebab malas akan membawa mati menghadapi segala rintangan alam yang mereka
hadapi.
Rendahnya
kesejahteraan petani bukan karena sikap mental para petani. Sektor pertanian,
khususnya pertanian pangan adalah sektor ekonomi yang diatur pemerintah. Campur
tangan pemerintah ini pada hakikatnya merubah petani dari produsen menjadi
pekerja dalam proses produksi pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka
tidak bebas menentukan apa yang mereka ingin lakukan.
Seperti
halnya buruh, petani padi pada akhir panen menerima upah berupa harga dasar
gabah yang ditentukan oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan petani. Yang
menarik di sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi mereka
berdasarkan harga dasar yang ditentukan pemerintah.
Bertolak
dari posisi petani tersebut, maka pemerintah perlu lebih memperhatikan nasib
mereka itu. Dituntut konsistensi pemerintah terhadap kebijakan pembangunan
sektor pertanian yang mengarah ke stabilitas ketahanan pangan dengan
memperhatikan nasib petani. Ketahanan pangan ini sudah menjadi prioritas
kebijakan nasional, namun nasib petani belum mendapat prioritas.
SURABAYA,
KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo mengatakan sudah memperkirakan, kenaikan
harga beras beberapa waktu lalu akibat permainan spekulan di pasar beras.
"Desember
ke Januari ada usul ke saya, posisi stok beras bahaya, kita harus impor.
Sebentar saya cek dulu, lalu saya putuskan, ini masih berani sampai panen raya.
Yang terjadi, spekulasi. Harga beras jadi naik. Ini risiko yang harus diambil,
saya jadi tidak populer," kata Jokowi di Masjid Nasional Al-Akbar Kota Surabaya,
Jumat (17/4/2015) malam.
Di hadapan
sekitar 2.000 anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang sedang
merayakan Hari Lahir Ke-55 dan Muktamar Pergerakan, Jokowi mengatakan bahwa
sudah bertahun-tahun Indonesia menjadi pengimpor 3,5 juta ton beras per tahun.
Oleh karena itu, pada akhir tahun lalu, ia mengambil risiko untuk menghentikan
impor, meski paham terhadap dampak kenaikan harga yang pasti akan terjadi.
"Kalau
impor, petani kita jadi malas berproduksi. Ini saya sering sulit jelaskan,
tetapi harus saya jelaskan secara gamblang. Kalau tidak impor, harga naik.
Kalau impor, petani jadi tidak rajin berproduksi," kata dia.
Walau
Presiden Joko Widodo mengatakan demikian namun data statistic impor beras
sangan besar
Jakarta -Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia masih
mengimpor beras sebanyak 7.912 ton senilai US$ 3,1 juta pada Februari 2015.
Turun dibandingkan sebulan sebelumnya yaitu 16.600 ton atau US$ 8,3 juta.
Suryamin, Kepala BPS, menyebutkan, beras yang diimpor bukanlah yang biasa dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Beras tersebut adalah beras khusus yang memang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
"Beras yang diimpor itu memiliki kriteria khusus. Ada jenis-jenisnya dan hampir semua itu tidak bisa diperoleh di dalam negeri," kata Suryamin dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/4/2015).
Pertama, lanjut Suryamin, adalah beras yang dijadikan bibit. "Jadi jenis tertentu yang digunakan untuk bibit," ujarnya.
Kedua, tambah Suryamin, adalah untuk kebutuhan restoran makanan non Indonesia. "Misalnya untuk beras di restoran Jepang, India, Vietnam. Itu nggak bisa menggunakan beras lokal," tutur Suryamin.
Ketiga, menurut Suryamin, adalah beras untuk bahan tepung khusus. "Itu kan harus beras dengan patahan cukup tinggi," ucapnya.
Keempat, demikian Suryamin, adalah beras untuk penyandang penyakit tertentu. Misalnya beras untuk penderita diabetes.
Suryamin, Kepala BPS, menyebutkan, beras yang diimpor bukanlah yang biasa dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Beras tersebut adalah beras khusus yang memang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
"Beras yang diimpor itu memiliki kriteria khusus. Ada jenis-jenisnya dan hampir semua itu tidak bisa diperoleh di dalam negeri," kata Suryamin dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/4/2015).
Pertama, lanjut Suryamin, adalah beras yang dijadikan bibit. "Jadi jenis tertentu yang digunakan untuk bibit," ujarnya.
Kedua, tambah Suryamin, adalah untuk kebutuhan restoran makanan non Indonesia. "Misalnya untuk beras di restoran Jepang, India, Vietnam. Itu nggak bisa menggunakan beras lokal," tutur Suryamin.
Ketiga, menurut Suryamin, adalah beras untuk bahan tepung khusus. "Itu kan harus beras dengan patahan cukup tinggi," ucapnya.
Keempat, demikian Suryamin, adalah beras untuk penyandang penyakit tertentu. Misalnya beras untuk penderita diabetes.
Dampak Kebijakan Impor Beras
Dampak positif
• Kebutuhan Masyarakat Terpenuhi
• Sebagai upaya antisipasi menahan laju peningkatan harga beras
• Relatif lebih murah dari beras local (dalam aspek harga)
• Dampak bagi pemerintah adalah Kebijakan ini dikhawatirkan akanmengurangi
kredibilitas Negara Indonesia sebagai Negara agraris,
• Indonesia semakin jauh dari keinginan untuk mewujudkan
ketahanan pangan
• pengeluaran devisa negara yang cukup besar untuk melaksanakan impor
• produk pertanian dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk pertanian luar
negeri
•
Dampak negatif
• Terjadi persaingan harga
• Membuat bangsa terutama pemerintah terlena, lupa bahwa negara ini awalnya
adalah negara swasembada beras, bakhan pernah menjadi negara pengekspor beras
• Merugikan Petani
• Menciptakan persaingan sendiri bagi negaranya
• Membuat banyak terjadi pengangguran
• Menciptakan sifat konsumerisme
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai kebijakan impor
beras yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dapat disimpulkan bahwa
Impor beras merupakan strategi pemerintah untuk
menahan laju inflasi dan jugakarena Bulog kekurangan stok beras untuk
cadangan.Indonesia masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan di Negeri
sendiri.
Dengan adanya kebijakan ini dikhawatirkan
Indonesia akan kehilangankredibilitasnya sebagai Negara agraris, selebihnya
keinginan Indonesia untukmewujudkan ketahanan pangan juga akan semakin jauh
dari kenyataan.Berdasarkan pemaparan masalah diatas, peneliti menyarakan
pemerintahkhususnya Bulog untuk lebih memperhatikan dan merealisasikan
manajemen stokyang lebih baik serta memaksimalkan penyerapan beras lokal dari
petani-petani lokal,sehingga stok beras dapat diatur dengan baik dan petani
Indonesia pun dapatmeningkatkan kesejahteraan hidup mereka.Penelitian ini
terbatas pada lingkup impor beras yang dijadikan sebagai
objek penelitian. Diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memicu penelitiselanjutnya
untuk lebih mengembangkan kerangka berpikir supaya dapat bermanfaat bagi
banyak pihak.